artikel

MEDIASI DAN MANAJEMEN KONFLIK DALAM PERCERAIAN
Oleh. Rifqi Kurnia Wazzan, S.H.I., M.H

 

14. Rifqi Kurnia Wazzan

A. Latar Belakang Masalah

Setiap sistem hukum pasti mempunyai maksud dan tujuan, diantara tujuan dari sekian banyak tujuan sistem hukum adalah tercapainya sebuah keadilan. Meskipun dalanm teori keadilan itu sendiri masih kabur, bisa dan baru bersifat formal belum substansional dan intrinsik. Namun 

intinya sama yaitu keadilan itu harus bersih, bebas dari ideologi politik dan atau bebas dari tekanan atau paksaan dari pihak lain. Konsep keadilan sekarang sering dikaitkan kepada sistem ekonomi liberal, sistem ekonomi demokrasi Pancasila, sistem ekonomi kerakyatan dan lain sebagainya.
Dalam masyarakat modern, keadilan adalah merupakan kebutuhan primer yang harus terpenuhi oleh setiap orang dibelahan dunia. Agar terwujud dan terlaksananya keadilan di tengah masyarakat, maka perlu ada institusi hukum yang dapat menaungi dan sekaligus mampu menjembatani kebutuhan masyarakat terhadap rasa keadilan tersebut. Karena rasa keadilan diantara orang bersengketa itu tidaklah sama, sehingga sulit untuk memuaskan rasa keadilan bagi kedua belah pihak yang bersengketa. Solusi yang terbaik adalah dengan perdamaian, baik formulasinya dirumuskan oleh kedua belah pihak yang bersengketa maupun ditengahi dan dirumuskan oleh mediator yang ditunjuk.
Sebagaimana telah diketahui, bahwa salah satu latar belakang terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2002, Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2003 dan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang Mediasi adalah karena adanya penumpukan perkara di Mahkamah Agung RI yang belum tertangani oleh Majelis Hakim Agung. Sementara pihak yang bersengketa sangat membutuhkan kepastian hukum dan berharap mendapatkan rasa keadilan. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk menahan lajunya perkara tersebut di tingkat pertama, dengan tetap memperhatikan asas fleksibilitas, asas legalitas, dan asas ishlah (perdamaian), meskipun ternyata sampai hari ini perkara yang masuk ke tingkat kasasi dan PK di Mahkamah Agung RI masih tinggi, dan cenderung belum tertangani secara maksimal mengingat sumber daya manusia (Hakim Agung) masih sangat terbatas secara kuantitas, di lain pihak masyarakat sangat membutuhkan kepastian hukum sebagai jubah rasa keadilan tersebut.


B. Konsep Mediasi di Dalam Pengadilan

1. Pengertian Umum tentang Mediasi


Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah, di mana para pihak yang tidak memihak bekerja sama dengan pihak yang bersengketa untuk mencari kesepakatan bersama. Pihak luar tersebut disebut dengan mediator, yang tidak berwenang untuk memutus sengketa, tetapi hanya membantu para pihak untuk menyelesaiakan persoalan-persoalan yang dikuasakan kepadanya.
Para ahli mengemukakan makna mediasi secara etimologi dan terminologi. Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa latin “ mediare “ yang berarti berada di tengah. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak. “Berada di tengah” juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Ia harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari para pihak yang bersengketa.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mediasi memberikan arti sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat. Pengertian tersebut mengandung tiga unsur penting, yaitu :

  1. Mediasi merupakan proses penyelesaian perselisihan atau sengketa yang terjadi antar dua pihak atau lebih. 
  2. Pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa adalah pihak-pihak yang berasal dari luar pihak bersengketa.
  3. Pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa tersebut bertindak sebagai penasihat dan tidak memiliki kewenangan apa-apa dalam pengambilan keputusan.

 

Penjelasan mediasi secara etimologi ini lebih menekankan keberadaan pihak ketiga atau pihak yang bertugas sebagai penengah antara kedua belah pihak yang bersengketa dan hanya menjelaskan sifat bagaimana mediasi itu, tanpa ada menjelaskan mediasi secara mendalam. Pihak ketiga ini menjembatani para pihak untuk menyelesaikan sengketanya. Hal ini juga memberikan perbedaan antara mediasi dengan penyelesaian sengketa alternatif lainnya. Pihak ketiga ini mempunyai sifat yang netral di antara kedua belah pihak yang bersengketa dan memberikan atau menemukan kesepakatan yang dapat memuaskan para pihak.
Penjelasan mediasi secara terminologi yaitu berdasarkan pengertian mediasi menurut para pihak, yaitu : untuk membantu para pihak, baik secara pribadi atau kolektif, untuk mengidentifikasikan masalah-masalah yang dipersengketakan dan untuk mengembangkan proposal untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Tidak seperti arbiter, mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutus setiap sengketa, melainkan mediator dapat mengikuti pertemuan-pertemuan rahasia dan pembahasan khusus bersama dengan pihak-pihak yang bertikai.”
Gary Goodpaster mengemukakan “mediasi adalah proses negosiasi pemecahan (impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. Berbeda dengan hakim atau arbitrase, mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa antara pihak. Namun, dalam hal ini para pihak mengusahakan kepada mediator untuk membantu mereka menyelesaikan persoalan-persoalan diantara mereka.
Goodpaster mengemukakan pendapat mengenai mediasi tidak hanya mengenai pengertiannya saja, tetapi mengeksplorasi lebih jauh lagi makna mediasi dengan menggambarkan proses kegiatan mediasi, kedudukan dan peran pihak ketiga serta bagaimana tujuan diadakannya mediasi. Mediasi ini merupakan negosiasi yang dilakukan pihak ketiga dengan melakukan dialog untuk mencapai kesepakatan bersama dengan tujuan menyelesaikan sengketa perdata tanpa harus melalui proses peradilan dan memperoleh kesepakatan yang memuaskan.
Mediasi adalah suatu proses, dimana seorang pihak ketiga netral, yang disebut dengan “mediator” mendengarkan sengketa di antara dua pihak atau lebih dan mencoba untuk membantu para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka tanpa memikirkan keuntungan dari adanya kasus itu. Makna mediasi sering dikaitkan dengan makna arbitrase. Arbitrase adalah bentuk lain dari pada penyelesaian sengketa dengan menggunakan pihak ketiga (sebagai lawan dari proses litigasi dan penilaian hakim juri). Dalam arbitrase, arbiter mendengarkan fakta-fakta yang dihadirkan oleh setiap pihak dan kemudian membuat sebuah keputusan mengenai siapa yang bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengguat, dan berapa banyak orang yang harus bertanggung jawab membayar kerugian tersebut kepada penggugat, jika ada pembayaran yang dapat dibayar.
Di dalam Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan, juga terdapat defenisi mediasi yakni terdapat pada Pasal 1 huruf (a), yang isinya “ Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator”.
Defenisi mediasi yang terdapat di dalam PERMA No. 1 Tahun 2016 ini tidak jauh berbeda dengan defenisi para ahli. Namun, di dalam PERMA No.1 Tahun 2016 ini mediasi lebih menekankan bahwa yang penting di dalam sebuah mediasi itu adalah mediator. Mediator harus mampu mencari alternatif-alternatif penyelesaian sengketa tersebut. Apabila para pihak sudah tidak menemukan lagi jalan keluar untuk menyelesaikan sengketa tersebut maka mediator tersbut harus dapat memberikan solusi-solusi kepada para pihak. Solusi-solusi tersebut haruslah kesepakatan bersama dari si para pihak yang bersengketa. Disinilah terlihat jelas peran penting mediator.
Dari beberapa rumusan mengenai batasan mediasi yang dikemukakan oleh para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa mediasi merupakan cara penyelsaian sengketa di luar pengadilan melalui kesepakatan dirundingkan para pihak sengketa yang dibantu oleh pihak ketiga yang bersifat netral dan tidak berpihak kepada siapa pun.
Pihak ketiga itu disebut dengan mediator, dalam mediasi ini mediator tidak mempunyai hak untuk memutus sengketa tersebut. Mediator hanya membantu para pihak sengketa dengan memberikan solusi-solusi yang dapat membuka pikiran para pihak dalam penyelesaian sengketa tersebut. Solusi-solusi tersebut diperundingkan oleh para pihak untuk mencapai kesepakatan bersama tanpa ada paksaan dari pihak mana pun. Dengan kata lain mediator merupakan penengah di dalam sebuah persengketaan.


2. Prinsip-prinsip Mediasi

a) Mediasi Bersifat Sukarela

Pada prinsipnya inisiatif pilihan penyelesaian sengketa melalui mediasi tunduk pada kesepakatan para pihak. Hal ini dapat dilihat dari sifat kekuatan mengikat dari kesepakatan hasil mediasi didasarkan pada kekuatan kesepakatan berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata. Dengan demikian, pada prinsipnya pilihan mediasi tunduk pada kehendak atau pilihan bebas para pihak yang bersengketa. Mediasi tidak bisa dilaksanakan apabila salah satu pihak saja yang menginginkannya.
Pengertian sukarela dalam proses mediasi juga ditujukan pada kesepakatan penyelesaian. Meskipun para pihak telah memilih mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa mereka, namun tidak ada kewajiban bagi mereka untuk menghasilkan kesepakatan dalam proses mediasi tersebut. Sifat sukarela yang demikian didukung fakta bahwa mediator yang menengahi sengketa para pihak hanya memiliki peran untuk membantu para pihak menemukan solusi yang terbaik atas sengketa yang dihadapi para pihak. Mediator tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan sengketa yang bersangkutan seperti layaknya seorang hakim atau arbiter. Dengan demikian, tidak ada paksaan bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan cara mediasi.
Pada perkembangannya kemudian penggunaan mediasi ada yang bersifat wajib untuk konteks-konteks tertentu. Di Indonesia mediasi bersifat wajib sampai saat ini diberlakukan untuk sengketa-sengketa perdata yang telah diajukan ke pengadilan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Penggunaan prosedur mediasi wajib dalam hal ini dimungkinkan karena hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia, Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBG menyatakan bahwa hakim diwajibkan untuk terlebih dahulu mengupayakan proses perdamaian. Dengan demikian, penggunaan mediasi yang bersifat wajib dalam kaitannya dengan proses peradilan perdata di Indonesia memiliki dasar hukum yang kuat pada tingkat undang-undang, sehingga tidak menimbulkan persoalan dari aspek hukum.


b) Lingkup Sengketa pada Prinsipnya Bersifat Keperdataan
Jika dilihat dari berbagai peraturan setingkat Undang-undang yang mengatur tentang mediasi di Indonesia dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya sengketa-sengketa yang dapat diselesaikan melalui mediasi adalah sengketa keperdataan. Pasal 30 ayat (2) UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup.


c) Proses Sederhana
Sifat sukarela dalam mediasi memberikan keleluasaan kepada pihak untuk menentukan sendiri mekanisme penyelesaian sengketa mediasi yang mereka inginkan. Dengan cara ini para pihak yang bersengketa tidak terperangkap dengan formalitas acara sebagaimana dalam proses litigasi. Para pihak dapat menentukan cara-cara yang lebih sederhana dibandingkan dengan proses beracara formal di pengadilan.
Penyelesaian sengketa melalui litigasi dapat selesai bertahun-tahun, jika kasus terus naik banding bahkan kasasi, sedangkan pilihan penyelesaian sengketa melalui mediasi lebih singkat, karena tidak terdapat banding atau bentuk lainnya. Disamping itu, putusan dalam mediasi bersifat final dan mengikat. Pengertian mengikat adalah memberikan beban kewajiban hukum dan menuntut kepatuhan dari subyek hukum. Di dalam Hukum Acara Perdata dikenal teori res adjudicata pro veritare habetur, yang artinya apabila suatu putusan sudah tidak mungkin diajukan upaya hukum, maka dengan sendirinya putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan oleh karenanya putusan tersebut mengikat para pihak yang bersengketa.
Untuk melihat perbandingan dengan putusan pengadilan maka putusan yang bersifat final dan mengikat, dihubungkan dengan teori res adjudicata pro veritare habetur, berarti terhadap suatu putusan tidak dapat diajukan upaya hukum banding maupun kasasi. Dengan demikian putusan tersebut mengikat para pihak dan wajib ditaati oleh para pihak.
Sebagai konsekuensi cara yang lebih sederhana ini, maka mediasi sering dianggap lebih murah dan tidak banyak makan waktu jika dibandingkan dengan proses litigasi atau berperkara di pengadilan.


d) Proses Mediasi Tetap Menjaga Kerahasiaan Sengketa Para Pihak
Mediasi dilaksanakan secara tertutup sehingga tidak setiap orang dapat menghadiri sesi-sesi perundingan mediasi. Hal ini berbeda dengan badan peradilan dimana sidang umumnya dibuka untuk umum. Sifat kerahasiaan dari proses mediasi merupakan daya tarik tersendiri, karena para pihak yang bersengketa pada dasarnya tidak suka jika persoalan yang mereka hadapi dipublikasikan kepada umum. Namun demikian, Kesepakatan Perdamaian yang dikuatkan dengan akta perdamaian tunduk pada keterbukaan informasi di pengadilan (Dasar Hukum: Pasal 5 ayat (1) PERMA No. 1/2016).


e) Mediator Bersifat Menengahi
Dalam sebuah proses mediasi, mediator menjalankan peran untuk menengahi para pihak yang bersengketa. Peran ini diwujudkan melalui tugas mediator yang secara aktif membantu para pihak dalam memberikan pemahaman yang benar tentang sengketa yang mereka hadapi dan memberikan alternatif solusi yang terbaik bagi penyelesaian sengketa tersebut.
Dalam hal ini keputusan untuk menerima penyelesaian yang diajukan mediator sepenuhnya berada dan ditentukan sendiri oleh keinginan/kesepakatan para pihak yang bersengketa. Mediator tidak dapat memaksakan gagasannya sebagai penyelesaian sengketa yang harus dipatuhi. Prinsip ini, menuntut seorang mediator agar memiliki pengetahuan yang cukup luas tentang bidang-bidang terkait yang dipersengketakan oleh para pihak.
3. Faktor yang Mendorong Para Pihak Sengketa Melakukan Mediasi
Ada dua pandangan komperatif yang dapat menjelaskan apa yang menjadi faktor yang mendorong para pihak sengketa melakukan mediasi. Pandangan teoritis merujuk pada kebudayaan sebagai faktor dominan. Berdasarkan pandangan ini, cara-cara penyelesaian konsensus seperti negosiasi dan mediasi dapat diterima dan digunakan oleh masyarakat karena pendekatan itu sesuai dengan cara pandang kehidupan masyarakat itu sendiri. Masyarakat yang mewarisi tradisi kebudayaan yang menekankan nilai penting keharmonisan dan kebersamaan dalam kehidupan akan lebih dapat menerima dan menggunakan cara-cara konsensus dalam penyelesaian sengketa. Kebudayaan dapat dibentuk atau dipengaruhi oleh sejumlah faktor, antara lain agama.
Bangsa Jepang yang juga dipengaruhi oleh kebudayaan Konfusius memiliki ungkapan yang menggambarkan betapa pentingnya keharmonisan dan perdamaian dalam masyarakat, yaitu : “keharmonisan atau perdamaian adalah sesuatu yang paling berharga”. Faktor ini lah yang membuat hukum Jepang sangat maju membangun berbagai cara sengketa secara damai. Pandangan teoritis kedua lebih melihat kekuatan yang dimiliki oleh para pihak yang bersengketa sebagai faktor dominan. Karena kekuatan yang dimiliki para pihak yang relatif dan seimbang maka para pihak bersedia menempuh jalan mediasi. ditempuhnya jalan perundingan bukan karena merasa belas kasihan pada pihak lawan atau juga bukan karena terikat nilai spiritual atau nilai budaya, melainkan karena para pihak memang membutuhkan kerja sama dari pihak lawan agar mencapai tujuan yaitu untuk mewujudkan kepentingannya.
Menurut Moore, jika para pihak sama-sama memiliki kekuatan yang simetris dan seimbang, mereka cenderung menempuh perundingan dan perundingan dapat berjalan secara lebih efektif. Jika para pihak tidak memiliki kekuatan yang tidak seimbang, perundingan dapat juga berlangsung, tapi pihak yang kuat mungkin memanipulasi dan mengeksploitasi pihak yang lemah. Dalam proses mediasi, ada pihak penengah atau yang disebut dengan mediator yang dapat membantu salah satu pihak atau para pihak untuk menilai, menganalisa, dan mengevaluasi kekuatan mereka sehingga salah satu para pihak tidak mengambil kesimpulan dan keputusan-keputusan yang salah, yang merugikan kepentingan mereka dan menggagalkan proses mediasi.
Dalam sebuah negara yang sistem hukum dan pemerintahannya korup dan lembaga peradilannya dapat dengan mudah dibeli oleh pihak yang memiliki kekuatan finansial atau kekuatan politik, cara-cara negosiasi dan mediasi tidak akan berjalan efektif karena pihak yang kuat merasa yakin bahwa dengan cara dan dalam forum apa pun dapat memenangkan sengketa. Maka peradilan yang mandiri dan pemerintahan yang bersih cendrung memiliki sifat positif dengan penggunaan pola-pola negosiasi dan mediasi dalam penyelesaian sengketa karena para pihak tidak dapat memanipulasi proses pemerintahan dan peradilan sehingga tidak dengan mudah mereka memprediksi bahwa kemenangan akan berada pada pihak mereka jika masalah diselesaikan melalui litigasi atau proses administratif.
Dalam ketidakmampuan para pihak untuk memprediksi menang kalah dalam proses litigasi, maka para pihak pun akan menghitung-hitung biaya, baik bersifat finansial maupun non-finansial dalam berperkara. Jika mediasi dapat mewujudkan kepentingan mereka dengan biaya yang lebih rendah, maka para pihak cendrung memilih mediasi daripada proses litigasi.
Mediasi dijadikan sebagai pilihan jalan damai dalam menyelesaikan sengketa perdata antara lain disebabkan sebagai berikut:

  1. Penyelesaian melalui mediasi tidak hanya dilakukan diluar pengadilan saja, akan tetapi Mahkamah Agung berpendapat prosedur mediasi patut untuk ditempuh bagi para pihak yang beracara di pengadilan.
  2. Langkah ini dilakukan pada saat sidang pertama kali digelar.
  3. Adapun pertimbangan dari Mahkamah Agung, mediasi merupakan salah satu solusi dalam mengatasi menumpuknya perkara di pengadilan.
  4. Proses ini dinilai lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan atau penyelesaian yang memuaskan atas engketa yang dihadapai.
  5. Di samping itu institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif).


Dari penjelasan diatas maka terlihat jelas bahwa mediasi merupakan salah satu upaya penyelesaian sengketa yang memiliki manfaat yang sangat besar dalam menyelesaikan sengketa perdata di pengadilan. Mediasi ini akan sangat terasa manfaatnya apabila pelaksanaan mediasi tersebut berhasil, bahkan apabila mediasi gagal dan belum ada penyelesaian sengketanya mediasi yang sebelumnya berlangsung dapat mempersempit persoalan dan perselisihan.
Selain karena adanya pandangan teoritis, alasan kekuatan dari mediasi merupakan salah satu faktor yang mendukung para pihak untuk melakukan mediasi. Kekuatan mediasi yang digemari oleh para pihak sengketa adalah biaya yang ringan dan waktu yang singkat. Dengan kata lain bahwa mediasi ini merupakan penyelesaian sengketa yang efektif, singkat dan terjangkau. Dan hal ini yang menjadi nilai lebih bagi mediasi.
Para pihak sengketa tidak mungkin ada yang mau untuk menyelesaikan sengketa dengan cara yang bertele-tele, yang membuang waktu para pihak saja. Karena masih banyaknya kegiatan yang dilakukan oleh para pihak bukan hanya untuk berperkara di pengadilan. Sama juga dengan hal nya biaya, para pihak sengketa pasti tidak mau mengeluarkan biaya yang terlalu banyak untuk menyelesaikan sengketa. Untuk membuat segala persengketaan menjadi lebih mudah maka para pihak lebih memilih dan lebih tertarik untuk melakukan penyelesaian sengketa perdata melalui mediasi. Walaupun di dalam mediasi ini tidak ada yang menang atau kalah, tetapi para pihak sengketa tetap lebih memilih untuk melakukan mediasi.


C. Mediasi sebagai Manajemen Konflik di dalam Kasus Perceraian
Selain hukum sebagai pedoman tingkah laku, hukum juga dianggap berfungsi sebagai salah satu sarana pengendalian sosial (social control). Hukum sebagai sarana kontrol sosial berguna untuk mempertahankan ketertiban yang sudah ada. Dalam hal pengendalian sosial tersebut, maka hukum juga berfungsi sebagai pegangan dalam pengendalian sosial. Di samping hukum sebagai pengendali sosial, hukum juga sebagai rekayasa sosial, yaitu bagaimana kita menggerakkan tingkah laku anggota masyarakat menuju dan mencapai kepada keadaan yang diinginkan melalui hukum.
Hukum sebagai pranata sosial pasti mempunyai fungsi manifes (yang diharapkan), yakni bahwa akibat yang timbul oleh berjalannya peraturan memang dikehendaki, dan hukum juga mempunyai fungsi laten (fungsi yang tidak diharapkan) akibat yang ditimbulkan dari bekerjanya peraturan tersebut. Misalnya, fungsi manifes dari PERMA RI No 1 Tahun 2016 adalah terbendungnya laju perkara ke tingkat kasasi dan ke tingkat PK, sedangkan fungsi latennya adalah terbatas dan terkekangnya kebebasan sebagian masyarakat pencari keadilan untuk mengajukan upaya hukum ke tingkat yang lebih tinggi, ketika ia tidak merasa puas di tingkat pertama. Di sini terlihat, setiap peraturan perundang-undangan mempunyai peran ganda yang antagonis, positif dan negatif. Terkadang di satu sisi ada masyarakat yang diuntungkan karena diberlakukannya suatu peraturan tertentu, tapi terkadang di lain pihak ada juga sebagian masyarakat yang merasa dirugikan oleh peraturan tersebut. Besar kecilnya dampak fungsi manifes dan fungsi laten dari suatu aturan, bergantung kepada dinamika sosial dan peradaban suatu bangsa.
Menurut teori konflik, masayarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan kepentingan yang terus menerus di antara elemen-elemennya. Setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial. Keteraturan yang terdapat di dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan oleh adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan daari atas oleh golongan yang berkuasa yang mempunyai wewenang dan posisi. Misalnya dalam kasus perburuhan, upah minim, kontrak kerja, dan PHK sepihak yang merugikan buruh, dan dalam kasus perceraian, mungkin ada KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), penguasaan harta bersama dan bahkan ada rebutan hak pemeliharaan anak.
Maka disinilah pentingnya lembaga mediasi yang menjembatani konflik kepentingan antar pihak yang bersengketa untuk dapat mengeliminasi dari kondisi kualifikasi menang dan kalah menjadi sama-sama menang. Agar lembaga mediasi berhasil sebagai ikon win-win solution, maka peran seorang mediator menjadi sangat menentukan dalam mewujudkan visi dan misi lemabaga mediasi tersebut. Seorang mediator tidak boleh bersikap kaku dan tekstualis, melainkan harus bersikap luwes, fleksibel dan mampu mengembangkan sayap pemahaman maksud mediasi itu sendiri, tidak hanya pemahaman yang harfiah dan parsial, tetapi harus dengan wawasan kontekstual dan dengan pola berpikir problematikal dan sistematikal, yaitu dengan tipologi seorang pemecah masalah yang sistemik dan rasional.
Dengan demikian, akan muncul pemahaman, bahwa tercapainya suatu perdamaian tidak hanya ditandai oleh akte pardamaian dan pencabutan perkara di pengadilan oleh pihak yang bersengketa, melainkan juga harus diartikan dengan penyelesaian perkara secara damai penuh kekeluargaan antara pihak yang bersengketa, namun tetap menjunjung kepastian hukum dan rasa keadilan mereka terpenuhi, dan pada gilirannya mereka tidak melakukan upaya hukum ke tingkat yang lebih tinggi.
Tidak kalah pentingnya, adalah memilih dan memilah perkara yang akan dimediasikan. Karena secara normatif mungkin saja sama keharusan mendamaikan para pihak yang bersengketa, baik perkara perdata umum maupun perkara perdata tertentu/khusus di Pengadilan Agama, yang berkaitan dengan kasus perceraian.
Dalam menghadapi dan memediasikan para pihak yang bersengketa tentang perkara perdata yang sifatnya materi fisik, seperti tentang harta bersama, harta waris, wakaf atau hibah akan berbeda ketika menghadapi dan mendamaikan pihak yang bersengketa tentang perceraian dan / atau tentang perebutan pemeliharaan anak. Hal ini dikarenakan manutup perasaan kebencian dan membagi rasa cinta kasih sayang itu sangat sulit, karena abstrak dan bagian dari suara hati.
Oleh karena itu, harus ada teknik-metodologis yang applicable dan credible, yang berdimensi keilahian dalam upaya mediasi sebagai manajemen konflik yang familiar. Dengan begitu, konflik dapat diminimalisir atau dikurangi. Sehingga pemahaman perdamaian antara pihak berperkara tidak hanya diterjemahkan dengan mengeliminasi atau pencabutan perkaranya, tetapi juga harus diartikan kesepakatan kedua belah pihak untuk menyelesaikan perkaranya di pengadilan dengan secara kekeluargaan, tetapi tetap diputus secara yurudis formal di pengadilan tingkat pertama, dengan tanpa harus terganggu rasa keadilannya. Intinya adalah bagaimana agar perkara perceraian itu cukup diselesaikan di pengadilan tingkat pertama, dengan tetap mengacu kepada asas legalitas, asas fleksibilitas, dan asas ishlah, sehingga pihak yang berperkara merasa puas karena tidak ada yang keberatan atas perceraiannya. Dengan demikian, insya Allah dapat menahan lajunya perkara ke tingkat kasasi dan ke tingkat PK di Mahkamah Agung RI.
Kesepakatan Dalam Perceraian
Perceraian adalah sebagai solusi yang terburuk dari sebuah kondisi rumah tangga yang buruk. Manakala ikatan perkawinan seseorang telah dilanda kemelut ketidakharmonisan, dan rasa cinta kasih antara suami isteri sudah hilang, yang ada hanya kebencian diantara keduanya sehingga menimbulkan saling ketidakpercayaan. Maka dalam kondisi seperti itu, berarti pondasi penyangga rumah tangganya sulit untuk dapat ditegakkan kembali. Sedangkan khuluk adalah bentuk kemufakatan dalam perceraian, sebagaimana hal ini diketahui dalam luntasan sejarah yang terkenal dalam kasus isteri Tsabit bin Qois. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Nasa’i dari Ibnu Abbas r.a, ia berkata:
Isteri Tsabit bin Qois bin Syammas datang kepada Rasulullah SAW sambil berkata “Ya Rasulullah, saya tidak mencela akhlak dan agamanya, tetapi saya tidak ingin mengingkari ajaran Islam. Maka Rasulullah SAW menjawab: Maukah kamu mengembalikan kebunnya (Tsabit, suamimu)?, jawabnya: Mau, maka Rasulullah SAW berkata: Terimalah (Tsabit) kebun itu dan talaklah ia satu kali.”
Apakah boleh kesepakatan dalam sebuah perceraian? Jawabannya adalah boleh. Hal ini ditunjukkan oleh Islam baik secara institusi normatif maupun dalam realitas sejarah, karena lembaga talak itu sendiri bentuk kompromi alternatif dari kebuntuan hubungan suami isteri yang sedang dilanda kemelut rumah tangga, dan dikhawatirkan mereka melanggar hukum Allah dan berbuat dosa, maka sebagai jalan dan pintu daruratnya adalah mereka boleh bersepakat untuk mengakhiri rumah tangganya dengan cerai. Dan tentu saja setelah terpenuhinya alasan-alasan perceraian, sebagaimana yang diatur pada pasal 116 KHI, pasal 19 PP No 9 Tahun 1975, dan peraturan-peraturan lainnya. Hal ini sesuai teori kaidah hukum Sadz adz-Dzariah.
Berpijak pada dasar pemikiran tersebut di atas, baik yang termaktub dalam Hadis Tsabit bin Qais tentang khuluk, maka penulis berpendapat, bahwa boleh adanya kesepakatan dalam mengakhiri ikatan perkawinan dengan perceraian, karena talak dalam Islam termasuk kedalam hukum syar’i yang secara substansional bersifat diyani. Berbeda dengan konsep agama Nasrani, cerai adalah bersifat dogmatik dan doktrinal yang timbul dari institusi gereja, meskipun kenyataannya banyak ditinggalkan oleh pengikutnya. Wajar saja dalam Pasal 208 BW tidak boleh sepakat dalam perceraian, karena BW adalah penjelmaan dari salah satu ajaran atau doktrin gereja yang mengharamkan perceraian dalam agama Nasrani. Baik Nasrani sekte Katolik, sekte Ortodoks, atau sekte Protestan pada pokoknya mengharamkan lembaga perceraian, kecuali isteri melakukan perbuatan zina, itupun hanya diperbolehkan pisah ranjang
Sedangkan tentang pengakuan adalah termasuk kepada wilayah Hukum Acara Perdata, yaitu yang berkaitan dengan alat bukti. Adapun pengakuan sebagai alat bukti dalam perkara perceraian tidak bisa berdiri sendiri, melainkan harus ditambah dengan bukti saksi di persidangan, termasuk perkara perceraian yang diputus tanpa hadirnya Tergugat/Termohon (verstek). Hal ini sebagaimana telah diatur dalam pasal 76 (1) UU No. 7 Tahun 1989.

D. Kesimpulan
Dari pemaparan dasar dan pokok pemikiran tersebut diatas, dapat disimpulkan ke dalam beberapa pemikiran, sebagai berikut:
Seorang mediator tidak boleh bersikap kaku dan tekstualis, melainkan harus bersikap luwes, fleksibel dan mampu mengembangkan sayap pemahaman maksud mediasi itu sendiri, tidak hanya pemahaman yang harfiah dan parsial, tetapi harus dengan wawasan kontekstual dan dengan pola berpikir problematikal dan sistematikal, yaitu dengan tipologi seorang pemecah masalah yang sistemik dan rasional. Sehingga akan muncul pemahaman, bahwa tercapainya suatu perdamaian tidak hanya ditandai dengan adanya akta perdamaian di atas kertas dan dengan pencabutan perkara di pengadilan oleh pihak yang bersengketa. Melainkan juga harus diartikan dengan penyelesaian perkara secara damai penuh kekeluargaan antara pihak yang bersengketa, namun tetap menjunjung kepastian hukum dan rasa keadilan mereka terpenuhi.
Boleh adanya kesepakatan dalam menyelesaikan kemelut rumah tangga dengan perceraian. Hal ini ditunjukkan oleh Islam baik secara institusi normatif maupun dalam realitas sejarah, karena lembaga talak itu sendiri bentuk kompromi alternatif dari kebuntuan hubungan suami isteri yang dilanda kemelut rumah tangga, dan dikhawatirkan mereka melanggar hukum Allah dan berbuat dosa. Maka sebagai jalan dan pintu daruratnya adalah mereka boleh bersepakat untuk mengakhiri rumah tangganya dengan cerai. Dan tentu saja setelah terpenuhinya alasan-alasan perceraian, sebagaimana yang diatur pada pasal 116 KHI, Pasal 19 PP No 9 Tahun 1975 dan peraturan-peraturan lainnya.



DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Syahrizal, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, & Hukum Nasional (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009)
Fiadjoe, Albert K. , Alternative Disputes Resolution (2004)
Krikorian, Adrianne , “Litigate or Mediate? : Mediation as an alternative to law suits” artikel http://www.mediate.com hlm.1 diakses 3 Mei 2015.
Mimbar Hukum dan Peradilan, Edisi No 71 Tahun 2010, (Jakarta: PPHIMM)
Nugroho, Susanti Adi . Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: PT Telaga Ilmu Indonesia, 2009)
PERMA No.1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
Purba, Zein Umar. Mediasi dalam Sengketa Perbankan: Perbandingan dengan Bidang Pasar Modal dalam Mediasi Perbankan, diselenggarakan oleh Bank Indonesia dan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan, 2007
Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, (Bandung: CV Mandar Maju, 1997)
Umam, Khotibul, Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia, 2010)
Usman, Rachmadi , Pilihan Penyelesaian Sengketa diluar Pengadilan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003)

APLIKASI APLIKASI PENDUKUNG PENGADILAN AGAMA KENDAL

abs jdih lpse perpus simkara  
direktori komdanas pengaduan sikep sipp